Kerukunan itu memang indah. Jika di sana sedang sibuk melakukan gencatan senjata, kami di sini justru sedang sedang merasa bahagia karena dapat mempererat tali persaudaraan antarkeyakinan. Setiap kali berkumpul, kami tak pernah mempermasalahkan keyakian karena yang kami inginkan adalah perdamaian.
Kemarin, sebelum kembali ke kampus untuk melaksanakan praktikum, aku mengunjungi rumah kost teman ku terlebih dahulu. Ia adalah Made, teman sekelas ku yang berasal dari Bali. Hari ini adalah kali pertama aku melihat umat Hindu beribadah dihadapanku. Walau cara beribadah yang dilakukannya berbeda dengan ku, namun aku tak mempermasalahkan hal tersebut karena setiap agama memiliki cara tersendiri untuk menyembah Tuhannya.
Selesai praktikum, waktu telah menunjukan pukul 16.15. Kami bergegas pulang untuk menghindari gelapnya malam karena lokasi praktikum yang cukup jauh dari tempat tinggal kami masing-masing. Di tengah perjalanan, Reza menghentikan kendaraannya. Aku yang saat itu menumpang pada Cika ikut menepi, begitu pula dengan Asti, Taufik, dan Akbar. Aku sempat heran mengapa tiba-tiba berhenti, lalu tanpa berkata Maya memberi isyarat sambil menunjukan tangannya ke sebuah bangunan di samping ku. Itu adalah mesjid, rumah ibadah kami. Sayangnya, Fauzi melaju sangat cepat hingga tak menyadari bahwa kami telah tak berada di belakangnya lagi. Dengan tanggap Taufik menyalakan kembali kendaraan roda duanya dan melesat secepat kilat untuk menyusul Fauzi yang saat itu sedang membonceng Ria.
Mesjid itu terlihat sangat sepi, tak tampak ada orang ataupun penjaga di dalamnya. Kami sedikit ragu dapat melaksanakan ibadah di tempat itu. Akhirnya, aku dan Maya memutuskan untuk mencoba membuka pintu samping, sedangkan Uni mencoba membuka gerbang belakang. Uni sebenarnya berbeda keyakinan dengan kami, ia beragama Kristen, namun begitu peduli untuk membantu kami mencari jalan masuknya. Saat Taufik serta Fauzi datang kami segera mengambil air wudhu dan saat itu Made, Uni, dan Eka yang berbeda keyakinan dengan tak merasa keberatan untuk menunggu kami beribadah. Salah satu dari mereka berkata, “Kalian shalat dulu aja. Kita tunggu di sini.” Tuturnya dengan senyum sambil duduk di pelataran mesjid. Aku yang mendengar ucapan tersebut merasa sangat senang dan memintanya untuk menjaga tas ku.
Lagi dan lagi, Reza yang menjadi imam dalam shalat. Shaf pertama di isi oleh Taufik, Fauzi, dan Akbar, kemudian diikuti Icha, Maya, Aku, Asti, dan Ria pada shaf belakangnya. Selesai melakukan kewajiban kami ini, aku berdoa dan bersyukur pada apa yang telah Allah SWT berikan padaku karena telah memberikan teman teman yang selalu mengingatkanku untuk beribadah. Dan juga untuk teman yang berbeda keyakinan dengan ku tapi tak menjadikan kami semua sebagai saingan atau musuh.
Perbedaan yang ada antara kami dapat diterima oleh semuanya dengan lapang tanpa syarat apapun. Baik itu perbedaan sikap, sifat, hingga keyakinan. Aku dapat merasakan indahnya perbedaan. Karena perbedaan yang ada kadang menjadikan suatu perdebatan yang mampu menemukan titik temu dan melahirkan solusi yang sangat baik serta berguna bagi siapapun termasuk yang terlibat dalam perdebatan itu.
Indahnya dunia ini apabila perbedaan tak menjadi suatu hal bermasalah, termasuk perbedaan keyakinan. Andai saja perang yang terjadi di luar sana dapat berakhir, maka tak akan lagi ada pihak yang harus merasakan sakit padahal ia tak tau menau mengenai apa yang dipermasalahkan dalam perang tersebut, serta tak ada lagi korban yang harus berjatuhan.